Bukan memberi anak pengalaman untuk memakai pakaian yang kurang kering itu sehingga dia belajar konsekuensi, belajar lebih disiplin, sekaligus belajar menghargai peraturan.
Kedua, anak tidak diberi tanggung-jawab untuk urusan kelengkapan pribadi (kebersihan, menjaga dan merawat barang-barang pribadi, tidak ada konsekuensi ketika kehilangan barang, dan sejenisnya).
Ketiga, anak tidak memiliki tanggung-jawab kolektif. Tidak dilibatkan dalam urusan sehari-hari sehingga tidak terbiasa membantu, dan pada akhirnya tidak peka terhadap orangtua maupun anggota keluarga lainnya. Anak tidak siap ketika diminta membantu, meskipun pada tingkat minimal.
Keempat, orangtua tidak pernah atau sangat jarang memberikan kritik, koreksi atau masukan ketika anak salah atau kurang baik dalam melakukan sesuatu.
Baca Juga: Imbas KA Anjlok di Wates Kulonprogo, 38 Perjalanan Kereta Api Putar Arah via Jalur Utara
Pria lulusan S1 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini mengungkapkan, dampaknya, anak merasa baik-baik saja, menganggap dirinya hebat, sehingga ketika kemudian menghadapi kenyataan yang agak berbeda, anak rapuh dan mudah frustrasi.
“Apa sebabnya orangtua tidak pernah memberikan kritik? Karena rancu alias gagal paham untuk membedakan antara kritik dan mencela; sebagaimana banyaknya yang kacau pemahamannya antara menunjukkan kesalahan agar anak menyadari dan memperbaiki kesalahan dengan menyalahkan; bahkan rancu pula dengan menyalah-nyalahkan dan memojokkan anak,” paparnya.
Kelima, orangtua terlalu mudah mengobral pujian tanpa alasan yang kuat. Ini diperparah jika orangtua sering sekali mendorong anak untuk terpukau dengan pujian, popularitas, kesenangan dan like di media sosial.
Anak memang masih ngobrol dengan orangtua, tetapi yang banyak dibicarakan adalah asyiknya mendapatkan ini itu, asyiknya jalan-jalan dan bersenang-senang, bukan membicarakan dan cita-cita yang membentuk tekad anak.
Akibatnya anak tidak menghargai nasehat, tidak pula menghargai kebaikan orang lain.