Sebab Anak yang Cerdas Tetapi Rapuh Mentalnya, Orangtua Harus Perhatikan Ini!

18 Oktober 2023, 16:05 WIB
Ustadz Mohammad Fauzil Adhim paparkan sebab anak cerdas tapi rapuh mentalnya. //tangkap layar/ YouTube Mohammad Fauzil Adhim/

Sebab anak yang cerdas tetapi rapuh mentalnya dikarenakan banyak faktor, penyebab itu muncul terutama dimulai dari pola asuh dan cara mendidik orangtuanya.

Sebagai orangtua sebaiknya mengenali penyebab anak yang cerdas namun gersang jiwanya dan rapuh mentalnya. Agar bisa mengambil langkah untuk memperbaiki pola asuh terhadap anak. 

Penulis, Aktivis, dan Pakar Parenting Mohammad Fauzil Adhim memberikan penjelasan sejumlah sebab anak yang cerdas tetapi gersang jiwanya dan rapuh mentalnya yang disampaikan melalui Instagram pribadinya @mohammadfauziladhim.

Ustadz Fauzil mengatakan, seperti otot kita yang mengecil dan melemah kalau tidak dipakai berjalan, gusi tidak berkembang dengan baik jika saat kecil tidak dibiasakan mengunyah makanan padat, maka begitu pula jiwa anak-anak kita.

Baca Juga: Hati-Hati Memberi Minum Teh Pada Anak! Ini Penjelasan Dokter Spesialis Anak

“Lahir dan hidup di tahun yang sama, tetapi mengapa ada yang lemah mentalnya, kering keropos jiwanya sementara yang lain tidak? Penyebabnya bukan kekayaan orangtua, tetapi bagaimana mereka dibesarkan dan dididik oleh orangtuanya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, hari ini banyak orangtua yang lebih sibuk dengan pola asuh, tetapi abai dengan pendidikan. Banyak orangtua yang bagus dalam pengasuhan (ri’ayah), tetapi buta tarbiyah (الأمية التربوية) sehingga tidak memberikan tarbiyah yang baik. Orangtua lebih sibuk bertanya tentang pola asuh daripada hal mendasar dalam mendidik anak.

“Mengapa anak-anak yang cemerlang otaknya itu gersang jiwanya rapuh mentalnya? Pertama, anak tidak pernah menemui hardship (kesulitan) dalam hidup mereka; baju dicucikan meskipun sudah ada mesin cuci, menyeterika dan merapikan pakaian juga sudah ada yang mengerjakan,” jelas penulis buku Saat Berharga untuk Anak Kita ini.

Kalau anak mau berangkat sekolah pakaiannya belum kering, orangtua yang gopoh meskipun itu terjadi karena kesalahan anak.

Bukan memberi anak pengalaman untuk memakai pakaian yang kurang kering itu sehingga dia belajar konsekuensi, belajar lebih disiplin, sekaligus belajar menghargai peraturan.

Kedua, anak tidak diberi tanggung-jawab untuk urusan kelengkapan pribadi (kebersihan, menjaga dan merawat barang-barang pribadi, tidak ada konsekuensi ketika kehilangan barang, dan sejenisnya).

Ketiga, anak tidak memiliki tanggung-jawab kolektif. Tidak dilibatkan dalam urusan sehari-hari sehingga tidak terbiasa membantu, dan pada akhirnya tidak peka terhadap orangtua maupun anggota keluarga lainnya. Anak tidak siap ketika diminta membantu, meskipun pada tingkat minimal.

Keempat, orangtua tidak pernah atau sangat jarang memberikan kritik, koreksi atau masukan ketika anak salah atau kurang baik dalam melakukan sesuatu.

Baca Juga: Imbas KA Anjlok di Wates Kulonprogo, 38 Perjalanan Kereta Api Putar Arah via Jalur Utara

Pria lulusan S1 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini mengungkapkan, dampaknya, anak merasa baik-baik saja, menganggap dirinya hebat, sehingga ketika kemudian menghadapi kenyataan yang agak berbeda, anak rapuh dan mudah frustrasi.

“Apa sebabnya orangtua tidak pernah memberikan kritik? Karena rancu alias gagal paham untuk membedakan antara kritik dan mencela; sebagaimana banyaknya yang kacau pemahamannya antara menunjukkan kesalahan agar anak menyadari dan memperbaiki kesalahan dengan menyalahkan; bahkan rancu pula dengan menyalah-nyalahkan dan memojokkan anak,” paparnya.

Kelima, orangtua terlalu mudah mengobral pujian tanpa alasan yang kuat. Ini diperparah jika orangtua sering sekali mendorong anak untuk terpukau dengan pujian, popularitas, kesenangan dan like di media sosial.

Anak memang masih ngobrol dengan orangtua, tetapi yang banyak dibicarakan adalah asyiknya mendapatkan ini itu, asyiknya jalan-jalan dan bersenang-senang, bukan membicarakan dan cita-cita yang membentuk tekad anak.

Akibatnya anak tidak menghargai nasehat, tidak pula menghargai kebaikan orang lain.

Keenam, anak selalu dituruti keinginannya dan tidak diajari untuk menunda keinginan atau mencoret keinginan yang tidak penting.

Jika anak mulai merajuk atau ngambek ketika keinginannya belum terpenuhi, justru orangtua panik dan buru-buru ingin memenuhi jika anak tidak belajar untuk memahami keadaan, tidak pula berempati kepada orangtua.

“Masih ada lagi sebab-sebab lainnya, tetapi yang namanya media sosial memang terbatas ruangnya untuk berbincang. Sangat terbatas. Mudah-mudahan yang singkat ini bermanfaat dan barakah,” tutup ustadz Fauzil.***

Editor: Titis Ayu

Sumber: Instagram

Tags

Terkini

Terpopuler