Kondisi itu membuat Rojolele lebih berpotensi dimakan burung dan kena angin. Sedangkan Srinuk bisa lebih aman karena pendek sehingga aman dari burung dan tidak roboh.
"Kalau kualitas rasanya lebih enak Rojolelenya daripada Srinuk hanya kualitasnya turun dikit," terangnya.
Srinuk juga wangi dan tingkat pulennya hampir sama dengan Rojolele, serta bulir padinya bulat namun agak pendek dibanding Rojolele.
Petani Klaten juga lebih untung menanam Srinuk. Jika panen Srinuk, petani seperti dirinya bisa meraup pendapatan Rp 6 juta per Ha. Sedangkan varietas lain, pendapatanya sekitar Rp 5 juta per Ha.
Penjual bibit padi Srinuk, Sumiyem mengakui jika, bibit Srinuk memang memiliki kualitas bagus. Seperti bibitnya yang super, dan besar.
"Paling besar (bibitnya), paling bagus. Bibit Srinuk sae (bagus), nasinya enak. berasnya paling bagus. Petani semua suka," kata Sumiyem.
Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Klaten selaku pihak yang ikut meneliti beras Srinuk intens berusaha agar beras ini menjadi lebih baik.
Kabid Litbang Bappedalitbang Kabupaten Klaten Muhammad Umar Said mengatakan, penelitian Srinuk ini dibantu BATAN.
Berawal dari keprihatinan beras asal Klaten, Rojolele, yang tidak banyak ditanam petani. Di antaranya karena masa tanamnya yang panjang yaitu hampir enam bulan.
Padahal padi jenis lain 3-4 bulan saja dan batang padi Rojolele yang terlalu panjang karena terancam kena makan burung.